[KarirMahasiswa] Masih berkaitan dengan artikel yang saya post kemarin yaitu tentang
Mengenal Apa Itu WHV (Work Holiday Visa) di Australia
Yang sepertinya memang progam yang
sangat seru dan menguntungkan untuk di ikuti, selain itu juga teramat langka kalau
menurut saya karena memang kesempatan ini hanya bisa di ambil sekali seumur
hidup, sampai-sampai saya sendiri juga mulai tergoda lagi untuk coba mengambil
kesempatan langka ini, Dari pagi, siang, malam kepikiran kenapa nggak di coba
aja merantau ke Australia selama 1 tahun, Sepertinya akan menjadi pengalaman
yang tak terlupakan, terlebih lagi beberapa hari yang lalu ada temen yang
sengaja memanas-manasi saya dengan mengirimi beberapa foto lewat whatsapp yang
ternyata dia sudah berangkat kesana juga dengan memanfatkan progam WHV ini,,
tambah pengen aja kan.
Oiya Memang temen saya ini ketika
kami sama-sama belajar bahasa inggris di Kampung Inggris Pare beberapa waktu
yang lalu sudah kelihatan kalau dia memang ngebet banget pengen ke luar negeri.
Terlihat dari usahanya yang sungguh-sungguh untuk belajar bahasa inggris
terutama IELTS agar mimpinya ke luar negeri menjadi kenyataan, berbeda dengan
saya yang cuman iseng belajar buat ngisi waktu luang biar g dikira pengangguran
sehabis wisuda,, hahaaa
Tapi tentu memutuskan untuk berangkat
ke Australia dengan memanfaatkan progam WHV ini juga bukan perkara mudah, jika
harus berangkat ke Australia berarti saya harus rela meninggalkan apa aja yang
ada di Indonesia termasuk pekerjaan dan juga keluarga. Nah dari pada nunggu
saya mikirin untuk jadi berangkat ke Australia atau tidak? Yang mungkin akan
lama kaya sinetron2 alay di Indonesia, mending sahabat semua baca cerita dari orang
yang sudah lama tinggal di Australia berikut ini, yang sekaligus bisa menjadi motivasi
bagi kita semua.
Adalah Mas Iqbal Aji Daryono, beliau
menetap dan berprofesi sebagai seorang driver di Australia. Nah sedikit
gambaran juga untuk sahabat yang penasaran seperti apa nanti kehidupan di Australia
dan pekerjaan apa yang dapat kita ambil selama kita tinggal di sana jikalau kita
memutuskan untuk mengambil progam Work Holiday Visa ini. Serta bagaimanakah perbedaan cultur
budaya terutama perbedaan cultur/ budaya kerja antara di Indonesia dengan Australia, Sedikit
banyak akan terjawab di tulisan berikut.
Menjadi
Sopir Bahagia Bersama Mas Deny Indrayana
Iqbal Aji Daryono (kumparan.com)
Beberapa waktu yang lalu tersiar kabar bahwa
mantan WAMENKUMHAM, Denny Indrayana, menjalani pekerjaan sambilan di Australia
dengan menjadi sopir travel. Orang-orang jadi pada riuh bertanya-tanya. Ada
yang heran, ada yang kagum, ada juga yang prihatin. Secara mas deny indrayana
adalah mantan wakil menteri di Indonesia, sebuah pekerjaan yang teramat
terhormat di sini. Apa lagi dengan latar belakang beliau yang merupakan seorang
Doktor.
Kemudian di media Mas Deny menceritakan semuanya.
Bahwa bekerja apa saja asal halal adalah nilai yang beliau pegang sejak kecil.
Bahwa ia tak pernah malu menjalani pekerjaan yang di anggap rendahan, dan dulu
saat menempuh studi doktoral pun ia pernah menjalani pekerjaan yang bisa di
bilang kelas bawah di kota yang sama.
Denny Indrayana di Melbourne. (Foto: Denny Indrayana/istimewa) |
Dalam perkara hukum, saya memang tak tahu
apa-apa. Namun dalam dunia persopiran di Negeri Kangguru ini, saya adalah,
ehem, senior jauhnya Mas Denny. Maka izinkan saya ikut berbagi.
Dari cerita Mas Denny, saya menangkap kesan
bahwa untuk menjadi sopir di Australia dibutuhkan sejenis ketabahan tertentu.
Harus kuat mental, tidak gengsian, harus dibekali kesadaran bahwa bekerja apa
pun tak mengapa asal halal. Kesan demikian membuat saya sedikit
tergelitik. Sebab gengsi dan tidak gengsi sebenarnya hanyalah efek dari tekanan
sosial, dan tekanan sosial muncul karena konsep status. Adapun konsep status
adalah salah satu bentuk dari konstruksi sosial, sementara suatu konstruksi
sosial selalu terikat pada konteks masa dan masyarakat tertentu.
Masyarakat
Indonesia memang memandang pekerjaan sopir sebagai pekerjaan kelas bawah.
Kenapa? Pertama, karena ini profesi yang dianggap mengandalkan fisik, bukan
pekerjaan yang membutuhkan kemampuan otak tinggi semacam dokter, dosen, atau
wakil menteri. Kedua, karena penghasilannya yang kecil, dan itu bisa dibilang
sebagai faktor utama.
Di Australia, pekerjaan sopir atau driver
sudah pasti tidak sekeren dosen. Tapi untuk menyebut bahwa sopir adalah
pekerjaan rendahan di sini (serendah di Indonesia), ya tidak persis-persis
begitu juga. Saya kira, ini merupakan ekses dari kesenjangan sosial yang tidak
selebar di Indonesia. Jelasnya begini. Di Australia, nilai upah untuk
pekerjaan-pekerjaan fisik tidak beda-beda jauh dengan pekerjaan kantoran level
karyawan.
Di Perth saat ini upah perjam rata-rata 20
dolar, dan itu berlaku sama baik untuk tukang sapu maupun resepsionis kantor,
misalnya. Untuk beberapa jenis pekerjaan dengan keterampilan dan pengetahuan
tinggi semisal di bidang desain, teknologi informasi, atau pertambangan, memang
ada standar lebih bagi karyawan di bidang itu. Namun beberapa perkecualian itu
pun berlaku pula di pekerjaan fisik. Seorang sopir bus TransPerth bisa mendapat
38 dolar perjam, sedangkan sopir truk gandeng gede-gede dengan trayek
antarnegara bagian perjamnya bisa dapat 40 dolar, bahkan lebih.
"Perbedaan penghasilan yang tidak terlampau jauh antara pekerjaan kasar dan halus di Australia memunculkan apresiasi sosial
yang juga tidak terlalu berbeda"
Seorang gadis cantik dan gaul bisa dengan
cukup percaya diri memajang di Facebooknya profesi sebagai kasir pom bensin,
misalnya. Saya sendiri yang pernah memegang truk 5 ton,
dan saat ini masih aktif mengemudi big van, tidak perlu merasa malu-malu
macam di Indonesia kalau kenalan sama mbak-mbak sambil menyebut “I’m a driver.” Itu baru apresiasi sosial sebagai hasil dari
standar upah yang tidak njomplang. Belum lagi soal “disiplin profesi”.
Di sini, orang akan bekerja benar-benar sesuai kontraknya. Problem
ketenagakerjaan bisa jadi isu serius, dan pelanggaran atas kontrak bisa membawa
akibat buruk bagi perusahaan.
"Tugas seorang sopir delivery service seperti
saya sekarang ya cuma bongkar-muat barang, mengemudi, mengantarkan paket sampai
ke alamat tujuan, dan kadang-kadang menjemput barang untuk dikirim ke tempat
lain. Bos saya tidak berhak meminta hal lain, misalnya menyapu lantai gudang,
biarpun saat itu beban pekerjaan delivery sedang sedikit."
Sehari sebelum saya menulis catatan ini, ada
pelanggan yang mengorder penjemputan sebuah barang. Masalahnya, si pelanggan
butuh bantuan. Barang seberat 22 kilo itu harus dimasukkan ke kardus terlebih
dahulu. Padahal tangan si pelanggan habis terkilir, dan dia tak bisa
melakukannya sendirian. Nah, pihak kantor logistik tempat saya bekerja tidak
berani meminta saya melakukan bantuan sekecil itu, dan lebih memilih menolak
order. Untunglah kemudian saya mengontak langsung si pelanggan. Dengan sedikit
memelas si pelanggan menjelaskan kondisinya kepada saya, lalu dengan
berhati-hati dia bertanya apakah saya bisa membantunya melakukan satu hal di
luar tugas saya, sambil beberapa kali menyampaikan bahwa saya tak harus
melakukannya jika saya tidak mau. Setelah saya cek, ternyata bantuan yang dia
mohonkan secara menyedihkan itu hanyalah beberapa gerakan kecil, dan cuma
memakan tiga menit waktu saya! Hahaha!
Tentu ini beda dengan di negeri kita.
Kita terbiasa memosisikan seorang sopir sebagai sekaligus pembantu. Job desc-nya
sopir, tapi juragan selalu mewajibkan si sopir untuk mencuci mobil tiap pagi,
bahkan memotong rumput kalau pas si sopir tidak sedang duduk di belakang setir.
Ini faktor lain selain penghasilan, yang membuat status sosial seorang sopir
jadi tampak rendah.
Beberapa bulan lalu saya juga sempat memegang
minibus seperti yang dipegang Mas Denny, untuk menemani para tamu dari sebuah
perusahaan nasional di Jakarta. Mereka sedang berkunjung ke Perth untuk sebuah
agenda bisnis selama 10 hari. Saya adalah sopir mereka, mereka adalah tamu
saya. Kontrak saya adalah mengantarkan mereka ke mana mereka mau.
Kalau memakai cara Australia, saya hanya akan
menjemput saja tamu-tamu saya itu, mengantarkan kembali ke hotel, menjemput
lagi untuk makan malam, dan melanjutkan tugas yang sama keesokan harinya. Itu
saja.
Namun, para tamu saya agaknya lupa bahwa ini Perth, bukan Jakarta. Di
sinilah terjadi sedikit gagap budaya. Mereka yang sebagian besar seumuran adik-adik
saya itu pasti terbiasa melihat sopir sebagai orang suruhan. Jadi ketika
belanja ini-itu pun, saya diminta menenteng belanjaan mereka di tangan kiri dan
kanan, sembari saya mengekor di belakang saat mereka menjelajah toko
barang-barang bermerek. Ketika saya mencoba berbincang dalam suasana
sebagai teman baru pun, mereka tampak enggan dan lebih memilih menjaga “jarak
sosial”. Hahaha.
Tentu saja, mbak-mbak itu tidak pada sadar
bahwa sopir yang mengantarkan mereka adalah X-Men yang sedang menyamar. Namun
saya sudah menyiapkan diri sejak awal untuk hal-hal semacam itu, dan saya pun
senang-senang saja melakukan tugas-tugas di luar kontrak saya. Toh, saya
memang mematok ongkos di atas standar, dan menikmati legitnya uang perusahaan
mereka. Begitulah. Dua hal itu, standar penghasilan
dan disiplin atas kontrak kerja, membentuk penghargaan yang baik bagi
pekerjaan-pekerjaan yang di negeri kita tampak rendahan. Dengan apresiasi
sosial yang baik, orang tidak berpikir rumit tentang gengsi-gengsian.
Ada lagi satu ilustrasi kecil terkait
gengsi-gengsian tersebut. Waktu saya mengantarkan tamu-tamu dari Jakarta
itu, saya mengkoordinasi beberapa sopir lain. Ada satu sopir yang tidak saya
kenal sebelumnya, orang asal Kupang yang lama jadi orang Perth, sebut saja
namanya Pak Said. Sebagai koordinatornya, tentu saya main suruh
juga. Namun saya jadi agak grogi, saat belakangan kawan saya memberitahu bahwa
Pak Said itu orang kaya raya. Propertinya di mana-mana, dari Perth hingga
Darwin. Pak Said jelas lebih kaya dibanding para tamu
dari Jakarta, bahkan mungkin lebih kaya dibanding Mas Denny Indrayana. Tapi dia
enteng saja mengisi waktu dengan menjadi sopir, karena memang di sini
gengsi-gengsian semacam itu tidak terlalu mendapat tempat. Demikianlah.
Jadi, apa yang dilakukan Mas Denny dengan
bekerja sebagai sopir travel memang merupakan tindakan mulia, namanya juga
mencari nafkah halal. Namun sungguh, di Australia, tidak dibutuhkan semacam
mental baja, ketabahan level tertentu, dan sikap rendah hati yang luar biasa,
untuk bisa menjalani pekerjaan semacam itu.
Lebih jauh lagi, sebenarnya di Indonesia pun
konstruksi sosial atas pekerjaan (yang dianggap) rendahan selalu bisa
dikoreksi. Seorang sopir di Indonesia sudah saatnya tak perlu terlalu risau
dengan stempel minim kerja otak dan penghasilan yang rendah.
Begini maksud saya.
"Ilmu psikologi dan neurologi mutakhir sudah
mendefinisikan ulang apa yang disebut dengan kecerdasan dan aktivitas otak.
Sopir adalah pekerjaan yang membutuhkan skill khusus, perhatian tinggi atas
standar keselamatan, dan latihan otak yang juga keras."
Coba perhatikan saja. Tangan seorang sopir
mengoperasikan setir, sein kanan-kiri, klakson, wiper, lampu depan dan
dim, dan tongkat persneling. Kaki sopir mengoperasikan gas, rem, dan kopling.
Mata sopir awas setiap saat ke depan, dan ke samping kiri-kanan-tengah untuk
mengawasi arah belakang via spion. Sungguh aktivitas otak seorang sopir tak
bisa dianggap enteng. Apalagi jika dibarengi pemahaman wilayah
berikut jalur-jalur jalanannya, maka seorang sopir mestilah encer otaknya, dan
memiliki kecerdasan spasial yang tinggi. Jadi, profesi sopir bukanlah jenis
pekerjaan okol alias otot semata, melainkan juga pekerjaan otak.
Ini bukan glorifikasi atas profesi saya
sendiri, tenang saja, wkwkwk. Saya cuma berusaha agar Anda semua sedikit
mengubah pandangan meremehkan atas para sopir di sekitar Anda. Bagaimana dengan aspek penghasilan? Weee,
jangan salah. Sopir-sopir bus malam di Jawa gitu dengar-dengar gajinya bisa
sampai 6 juta. Sopir Transjakarta gajinya juga 8 juta. Kalau sopir truk
antarkota, saya kurang tahu persisnya. Tapi seorang teman selalu berpesan, bila
bepergian ke luar kota dan kelaparan di jalan, carilah rumah makan yang dipakai
mampir para sopir truk. Soalnya makanannya pasti enak-enak, hahaha.
Ya, sopir truk luar kota terkenal gak doyan
makan kalau nggak enak. Menu makanan mereka dijamin lebih oke dibanding menu
harian yang disantap seorang karyawan baru di Jakarta. Jika pemahaman semacam itu bisa kita tanamkan
ke kesadaran orang-orang di sekitar kita, berikut pelan-pelan mulai menghormati
profesi orang lain dengan tidak main suruh dan memberinya beban di luar
kesepakatan, niscaya seorang sopir di Indonesia tak akan lagi dianggap
rendahan. Begitu juga dengan pekerjaan-pekerjaan lainnya.
Contohlah masyarakat Jepang.
Di Jepang, kata teman saya Mya Dwi Rostika
yang saat ini mengajar di Kokushikan University, di sana istilah ‘tukang’ sudah
diganti dengan ‘ahli’. Bukan lagi tukang reparasi, tukang mebel, tukang
bangunan. Melainkan ahli reparasi, ahli mebel, dan ahli bangunan. Kalau kita bisa membangun tradisi positif
semacam itu, orang akan tak lagi melihat status rendah sebuah pekerjaan sebagai
kendala. Bisa jadi, pengangguran juga akan berkurang, sebab kita tak lagi
merasa perlu gengsi untuk bekerja apa saja. Sehingga netizen juga tak perlu merasa kaget,
jika sepulang ke Indonesia nanti, saya dan Mas Denny Indrayana kadangkala
mengisi waktu dengan menjadi ‘ahli setir’ bersama-sama. Hahaha! (end)
Nah demikianlah cerita dan tulisan dari mas Iqbal yang sangat mengisnpirasi kalau menurut saya. Bahwa kita tidak boleh menganggap remeh/ sebelah mata sebuah profesi, apapun itu selagi halal dan tidak merugikan orang lain maka pekerjaan itu sah-sah saja untuk di lakukan. dan satu lagi kalimat yang saya suka dan perlu di garis bawahi dari tulisan mas iqbal di atas yaitu "tidak ada tempat di sini buat gengsi-gengsian". yaa, kita seakan di buat malu dengan kalimat tersebut. di indonesia yang notabene tidak semaju Australia nampaknya gejala-gejala sepeti itu (gengsi) masih jamak kita jumpa. banyak orang-orang yang masih menganggap bahwa pekerjaan ini lebih pantas dari pekerjaan itu, profesi yang ini lebih bergengsi dari pada profesi itu. padahal itu semua adalah pilihan masing-masing. dan mungkin memang pasionya di bidang tersebut.
Oiya, ini juga seperti fenomena yang sudah saya tulis, mengenai profesi marketing yang masih di anggap sebelah mata di artikel
Dan satu lagi, cerita dari mas Iqbal di atas juga sekaligus menjadi kabar baik bagi kita yang punya rencana untuk mengikuti progam Work Holiday Visa di Australia, selain kita dapat berlibur, kita juga bisa mengambil pekerjaan paruh waktu yang banyak di sediakan di sana, seperti menjadi pelayan toko/kasir, menjadi pelayan di kafe ataupun restoran bahkan mungkin juga bisa menjadi seorang driver di australia, yang ternyata upah atau bayaranya tidak main-main, kalau menurut cerita mas iqbal tadi perjam kita di bayar antara 20-35 dollar, bayangin perjam loh itu. kalau sehari 6-8 jam udah berapa coba, trus kali 20 hari kerj, uwwaah pulang bisa buat modal nikah, hahahaaa (adm)
Bagikan
Menjadi Sopir “Bahagia” di Australia Bersama Mas Deny Indrayana
4/
5
Oleh
Karirmahasiswa